Ketentuan tentang Pemberitahuan PHK kepada Karyawan merupakan salah satu hasil dari perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law). Sebelum berlakunya Omnibus Law, proses PHK secara garis besar ialah:

  1. Pertama berangkat dari prinsip dasar bahwa semua pihak terkait harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK.
  2. Kedua, jika upaya tersebut tidak membuahkan hasil, maka maksud PHK tersebut wajib dirundingkan dengan Karyawan dan/atau serikat pekerja yang kemudian inilah konsep dasar dari bipartite tersebut.
  3. Ketiga, jika tetap tidak membuahkan hasil, maka dilakukan dengan memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dengan proses tripartit, yang jika tetap tidak setuju dengan anjuran maka sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Dalam Omnibus Law, ada sedikit modifikasi dari konsep ini, yakni antara tahap Pertama dan Kedua tersebut disisipkan ketentuan tentang kewajiban Perusahaan untuk memberikan “Pemberitahuan PHK” kepada karyawan yang akan di PHK. Sehingga jika dirumuskan kembali konsep dasar tersebut, maka susunannya ialah:

  1. Pertama berangkat dari prinsip dasar bahwa semua pihak terkait harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK.
  2. Kedua, jika upaya tersebut tidak membuahkan hasil, maka Perusahaan memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada Karyawan. Pada tahap ini Karyawan bisa menerima atau menolak.
  3. Ketiga, Jika Karyawan menolak PHK tersebut setelah diberitahukan, maka maksud PHK tersebut wajib dirundingkan dengan Karyawan dan/atau serikat pekerja yang kemudian inilah konsep dasar dari bipartite tersebut.
  4. Keempat, jika tetap tidak mebuahkan hasil, maka dilakukan dengan memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, dengan proses tripartit yang jika tetap tidak setuju dengan anjuran maka sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial.

PROSEDUR “PEMBERITAHUAN PHK”

Pemberitahuan PHK dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja. Kecuali untuk karyawan yang masih dalam masa percobaan, maka ketentuan 14 hari kerja tersebut dikurangi sehingga menjadi hanya 7 hari kerja.

Di dalam Surat Pemberitahuan PHK tersebut, memuat antara lain:

  1. maksud dan alasan PHK;
  2. kompensasi PHK; serta
  3. hak lainnya bagi Karyawan yang timbul akibat PHK

Tentu Surat Pemberitahuan PHK tersebut dapat memuat hal yang lebih rinci dan sesuai kebutuhan, namun Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa minimal tiga hal tersebut yang harus termuat.

Setelah Surat Pemberitahuan PHK tersebut disampaikan secara “sah dan patut” oleh Perusahaan kepada Karyawan, maka dalam tenggang waktu 14 hari kerja tersebut bisa terjadi dua situasi, yakni Karyawan menerima atau Karyawan menolak:

  1. Jika Karyawan tersebut menerima, maka Perusahaan wajib untuk melaporkan terkait dengan PHK tersebut kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan/atau Dinas Tenaga Kerja setempat, tentunya dengan adanya bukti persetujuan Karyawan atau surat kesepakatan; atau
  2. Jika Karyawan tersebut menolak, maka Karyawan yang bersangkutan wajib untuk membuat Surat Penolakan disertai dengan Alasannya paling lambat 7 hari kerja setelah “diterimanya” surat pemberitahuan. Yang perlu menjadi catatan ialah, tenggang waktu yang dimiliki oleh Karyawan dihitung sejak Surat Pemberitahuan PHK tersebut “Diterima”, ini artinya bahwa tidak otomatis setelah 7 hari kerja sejak Surat Pemberitahuan PHK dikirimkan dan tidak ada jawaban dari Karyawan maka tidak dapat otomatis dikatakan menerima. Yang jelas patokan bagi Perusahaan ialah setelah 14 hari kerja, baru Perusahaan dapat mengeluarkan Surat PHK.

Jika terjadi penolakan PHK, maka setidaknya ada 3 masalah yang dapat terjadi. Yakni:

  1. Dengan skema di atas, jika dalam 14 hari kerja tersebut Karyawan yang bersangkutan memberikan Surat Penolakan PHK, maka persoalannya kemudian ialah apakah Perusahaan tidak dapat lagi menerbitkan Surat PHK atau masih tetap dapat menerbitkan Surat PHK sekalipun proses Bipartit dan proses selanjutnya tetap berjalan ?. Jika mengacu pada Pasal 151 UU 13/2003, dalam hal Karyawan menolak Surat Pemberitahuan PHK maka bukan mengeluarkan Surat PHK yang harus dilakukan melainkan proses bipartite, yang jika kemudian tidak sepakat dilanjutkan dengan tripartit dan litigasi ke PHI. Namun dalam praktik, yang menjadi persoalan ialah, timbul pertanyaan, “siapa yang harus mengajukan bipartite atau tripartit ?, apakah karyawan ? atau perusahaan ?”, karena ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menegaskan dengan jelas hal ini, disamping itu pihak perusahaan juga bisa saja menganggap bahwa “tetap harus dilakukan PHK, karena tanpa adanya PHK, maka tidak ada sengketa, dan jika tidak ada sengketa, apa yang harus dirundingkan di bipartite dan tripartit bahkan di pengadilan ?”. hal itu tentu menjadi perdebatan dan isu tersendiri dalam praktiknya yang menimbulkan perdebatan dan interpretasi yang berbeda.
  2. “Karyawan hanya memiliki waktu 7 hari kerja untuk memberikan jawaban Penolakan PHK sejak Pemberitahuan PHK DITERIMA”. Artinya jika Pemberitahuan PHK dikirimkan melalui jasa pos tercatat/kurir, maka system pos/kurir tersebut harus bisa menunjukkan bahwa Surat Pemberitahuan PHK tersebut diterima, sehingga perhitungan 7 hari kerja tersebut akan dimulai sejak tanggal tersebut (diterimanya surat tersebut).
  3. Lalu bagaimana jika Surat Pemberitahuan PHK tersebut hanya “diterima di alamat terdaftar karyawan di Perusahaan” namun yang menerimanya bukan Karyawan yang bersangkutan, maka ini akan menjadi persoalan lagi, mengingat Karyawan tersebut bisa saja berdalih bahwa tidak menerima Surat Pemberitahuan PHK. Pada bagian ini perlu dibedakan antara “Sampai di Tujuan” dan “Diterima oleh Orang yang dituju”, karena umumnya, jasa kurir hanya akan memastikan bahwa kiriman sampai di tujuan, bukan diterima oleh orang yang dituju.

Dapat diprediksi bahwa persoalan ini akan berakhir sama seperti situasi dalam Pasal ex 168 tentang Karyawan Mangkir, yang ketika proses di persidangan sebagian berargumen bahwa tidak menerima surat panggilan. Namun jika mengambil jalan tengah dengan berpatokan pada ketentuan PP 35/2021, maka Perusahaan dapat melakukan PHK (menerbitkan Surat PHK) setelah 14 hari sejak Surat Pemberitahuan PHK disampaikan secara sah dan patut, terlepas dari tidak adanya tanggapan dari Karyawan yang kemudian disampaikan bahwa tidak menerima Surat Pemberitahuan PHK tersebut.

PENGECUALIAN “PEMBERITAHUAN PHK”

Ada beberapa jenis PHK yang tidak memerlukan Pemberitahuan PHK, yakni:

Karena terjadinya peristiwa tertentu yang mengakibatkan hubungan kerja sudah semestinya berakhir, yakni:

  1. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
  2. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai perjanjian kerja waktu tertentu;
  3. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau
  4. pekerja/buruh meninggal dunia.

Selain itu, Pemberitahuan PHK juga tidak diperlukan untuk PHK yang dikarenakan Karyawan melakukan “pelanggaran bersifat mendesak” yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Adapun jenis-jenis pelanggaran yang bersifat mendesak tersebut ialah:

  1. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan;
  2. memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan;
  3. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
  4. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
  5. menyerang, menganiaya, mengancam, ataumengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan kerja;
  6. membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan;
  8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
  9. membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
  10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

 

Regards

By admin

error: Content is protected !!