PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM
Pengertian Perusahaan Outsourcing
Perusahaan Alih Daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan Perusahaan pemberi pekerjaan.[1] Dari definisi ini, maka satu hal yang pasti ialah Perusahaan Alih Daya wajib untuk berbentuk “Badan Hukum” dalam hal ini ialah “Perseroan Terbatas” (PT), kemudian memenuhi syarat lainnya sebagai bentuk persyaratan izin usahanya.
Dasar Hukum Perusahaan Outsourcing
Sekadar informasi, bahwa sebelum Omnibus Law berlaku, Menteri Ketenagakerjaan mengatur secara spesifik tentang Perusahaan Alih Daya, yakni dengan menerbitkan aturan:
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain;
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 27 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain;
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.
Namun sebagai bentuk tindak lanjut dari berlakunya Omnibus Law, Menteri Ketenagakerjaan telah mencabut aturan-aturan tersebut melalui Peraturan Menteri Tenagakerja No. 23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Sebagai Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Beserta Peraturan Pelaksanaan.
Karena itu, sejak Omnibus Law berlaku, maka dasar hukum untuk pelaksanaan Alih Daya termasuk perizinan perusahaan Alih Daya merujuk pada:
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja; dan
- Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
SYARAT PENDIRIAN PERUSAHAAN OUTSOURCING
KBLI, Klasifikasi Tingkat Risiko dan Syarat Umum Perizinan Berusaha
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2020 (KBLI 2020)[2], maka perusahaan dengan yang menjalankan usaha di bidang “Alih Daya” dikategorikan sebagai bidang usaha sektor ketenagakerjaan yang melaksanakan penyediaan sumber daya manusia dan manajemen fungsi sumber daya manusia,[3] dengan kode KBLI “78300”.[4]
Berdasarkan kode KBLI 78300 tersebut, maka untuk tingkat risikonya, kegiatan usaha “Alih Daya” digolongkan dalam kategori “Tingkat Risiko Rendah” untuk seluruh skala jenis usahanya. Namun perizinannya tetap dikeluarkan oleh Menteri (dalam hal ini ialah OSS).[5]
Kemudian sebagaimana diatur dalam PP No. 5 tahun 2021, bahwa perizinan berusaha di Indonesia digolongkan sebagai berikut:
- persyaratan dasar
- Izin Lokasi
- Persetujuan Lingkungan (AMDAL/UKL-UPL/Pernyataan)
- Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)
- Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
- Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
- NIB;
- Sertifikat Standar (Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha); dan
- Izin
Syarat Perizinan Berusaha Perusahaan Outsourcing
Berdasarkan Uraian sebelumnya, maka untuk kegiatan usaha “Alih Daya”, klasifikasi usahanya dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Kode KBLI ialah : 78300;
- Tingkat Risiko : Rendah.
Maka dengan kesimpulan tersebut, dan sesuai dengan pengertian Perusahaan Alih Daya yang diuraikan sebelumnya, serta Lampiran II PP No. 5 tahun 2021, maka:
- Persyaratan pendirian Perusahaan Alih Daya ialah:
- Didirikan dalam bentuk “Perseroan Terbatas” (PT) dengan KBLI 78300;
- NIB;
- Kewajiban setelah pendirian Perusahaan Alih Daya ialah:
- Menerapkan Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja (K3L);
- Menjalankan kegiatan usaha paling lambat 1 tahun setelah NIB diterbitkan;
- Mendaftarkan Perjanjian Alih Daya kepada Dinas Tenaga Kerja;
- Melaporkan Perubahan Data Perusahaan (Jika terjadi perubahan).
Perlu dicatat bahwa, “Persyaratan Dasar” untuk perizinan berusaha berupa Izin Lokasi, Izin Lingkungan, PBG, dan SLF, akan diminta dilampirkan dalam proses pengajuan NIB.
KETENTUAN OPERASIONAL PERUSAHAAN OUTRSOURCING
Hubungan Kerja
Hubungan kerja antara Karyawan Perusahaan Alih Daya dengan Perusahaan Alih Daya itu sendiri hampir seluruhnya sama dengan hubungan kerja antara Perusahaan dan Karyawan pada umumnya, hanya saja ada beberapa karakteristik khusus yang membedakannya, yakni:[9]
- Perjanjian Kerja (baik PKWT ataupun PKWTT) wajib dibuat secara tertulis;
- Jika Perjanjian kerjanya dalam bentuk PKWT maka wajib dicantumkan “ketentuan pengalihan pelindungan hak-hak bagi Karyawan apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada”;
Upah
Tidak ada perbedaan dalam ketentuan upah antara Perusahaan Alih Daya dengan perusahaan lainnya selain Perusahaan Alih Daya.
Batasan Tanggung Jawab
Sebelum Omnibus Law berlaku, terdapat ketentuan bahwa jika syarat-syarat hubungan kerja antara Karyawan dengan Perusahaan Alih Daya tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan, maka Karyawan tersebut akan menjadi karyawan dari Perusahaan yang menggunakan jasa tenaga kerja tersebut (User).[10] Akan tetapi setelah Omnibus Law berlaku, ketentuan tersebut diubah sehingga tanggung jawabnya tetap ada pada Perusahaan Alih Daya.
Hal ini dikarenakan perubahan konsep dasar, yang sebelumnya antara 3 pihak (karyawan, Perusahaan Alih Daya, dan User) merupakan rangkaian hubungan kerja dalam satu kesatuan, namun setelah Omnibus Law berlaku maka hubungan antara Perusahaan Alih Daya dengan User dianggap sebagai hubungan bisnis, sedangkan hubungan ketenagakerjaan hanya antara Perusahaan Alih Daya dengan Karyawannya.[11]
SANKSI
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa untuk Perusahaan Alih Daya, terdapat “Syarat Pendirian” dan “Kewajiban Setelah Pendirian”. Dalam hal adanya pelanggaran terhadap masing-masing dan/atau kedua hal tersebut, maka Perusahaan Alih Daya dapat dikenakan sanksi Administratif, dengan uraian ketentuan sebagai berikut:
Jika suatu perusahaan melakukan kegiatan usaha alih daya yang melanggar kewajiban Perizinan Berusaha (NIB sebagai Perusahaan Alih Daya) dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; dan/atau b. penghentian sementara kegiatan usaha.[12] Pengenaan sanksi tersebut dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan tingkat provinsi.[13]
Jika suatu perusahaan, menjalankan kegiatan usaha sebagai “Perusahaan Alih Daya” namun tidak melaksanakan kewajiban dan/ atau persyaratan Perizinan Berusaha dan standar pelaksanaan kegiatan usaha dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementarakegiatan.[14]
[1] Pasal 1 Angka 14 PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja.
[2] Peraturan Badan Pusat Statistik No. 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia.
[3] Pasal 164 (1) PP No. 5 Tahun 2021.
[4] Lampiran 1 PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
[5] Ibid.
[6] Pasal 12 PP No. 5 Tahun 2021.
[7] Pasal 13 dan 14 PP No. 5 Tahun 2021.
[8] Pasal 15 PP No. 5 tahun 2021.
[9] Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 2020; dan Pasal 18, 19. 20 PP No. 35 Tahun 2021.
[10] Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 (sebelum diubah)
[11] Naskah Akademik UU No. 10 Tahun 2020.
[12] Pasal 515 PP No. 5 Tahun 2021.
[13] Pasal 190 UU No. 13 Tahun 2003; Jo., Pasal 516 PP No. 5 Tahun 2021.
[14] Pasal 508 (1 dan 4) PP No. 5 Tahun 2021.
Regards