ISSUE HUKUMNYA:

  1. Bagaimana cara menghitung waktu Istirahat sebelum dan sesudah melahirkan untuk karyawati wanita (selanjutnya kita sebut saja “karyawati”) ? apakah waktu istirahat “sebelum” dan “sesudah” melahirkan merupakan dua hal yang berbeda atau merupakan satu kesatuan ? baik itu dalam perhitungannya maupun pemberian haknya.
  2. Bagaimana jika karyawati melahirkan sebelum satu setengah bulan (˂ 1,5 bulan), apakah waktu istirahatnya menjadi lebih pendek ?. Sebaliknya bagaimana jika karyawati melahirkan lebih dari satu setengah bulan (˃ 1,5 bulan) apakah waktu istirahatnya menjadi lebih panjang ?
  3. Apakah waktu istirahat sebelum dan sesudah melahirkan dapat diperpanjang ? jika bisa diperpanjang bagaimana prosedurnya ?

PEMBAHASAN:

Hak bagi karyawati wanita untuk memperoleh istirahat sebelum dan sesudah melahirkan diamanatkan dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan.

Pasal 82

  • Pekerja/buruh perempuanberhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
  • Pekerja/buruh perempuanyang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Penjelasan Pasal 82

Ayat (1)

Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Dari ketentuan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan tersebut, dapat dipahami beberapa point kesimpulan sekaligus sebagai jawaban dari Issue sebelumnya, yakni:

  1. Orang sering menggunakan istilah “Cuti”, padahal sebenarnya bukan cuti melainkan “Istirahat”;
  2. Istirahat “sebelum” dan “sesudah” melahirkan merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan (bukan dua hal yang berbeda dan dapat dipisahkan);
  3. Lama waktu istirahat sebelum dan sesudah melahirkan ialah 3 bulan, yang dihitung sesuai dengan perhitungan dokter kandungan atau bidan;
  4. Waktu istirahat 3 bulan tersebut dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan;

Berikut ini penjelasan dan uraian dari masing-masing kesimpulan di atas:

  1. Orang sering menggunakan istilah “Cuti”, padahal sebenarnya bukan cuti melainkan “Istirahat”

Dalam UU Ketenagakerjaan, istilah “cuti” hanya digunakan untuk “cuti tahunan”, sedangkan untuk kondisi lain dimana karyawati diijinkan oleh UU untuk tidak bekerja dan tetap memperoleh upah umumnya menggunakan istilah “istirahat” atau “izin” (yang jelas tidak menggunakan istilah “cuti”). Demikian halnya dengan “istirahat” sebelum dan sesudah melahirkan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan, dengan jelas disebutkan bahwa hak tersebut merupakan hak untuk “istirahat”.

Jika ada pertanyaan tentang mengapa persoalan istilah “istirahat” dan “cuti” ini penting untuk diketahui, maka perlu untuk diketahui bahwa perbedaan penggunaan istilah ini nantinya akan mempengaruhi hak-hak karyawati. Salah satu contohnya misalnya jika terjadi PHK, maka salah satu hak karyawati ialah memperoleh Uang Penggantian Hak, dan salah satu komponen dari Uang Penggantian Hak ialah “cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur”. Demikian juga dalam Pasal 157A UU ketenagakerjaan dikatakan bahwa “Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”, dan salah satu bentuk “hak lainnya” tersebut ialah “hak cuti yang belum diambil dan belum gugur”. Sehingga jika istirahat sebelum dan sesudah melahirkan diubah istilahnya dari “istirahat” menjadi “cuti” maka ini akan menimbulkan potensi perbedaan pemahaman di kemudian hari antara Perusahaan dengan Karyawati.

  1. Istirahat “sebelum” dan “sesudah” melahirkan merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan (bukan dua hal yang berbeda dan dapat dipisahkan)

Pandangan ini memang tidak diuraikan dengan spesifik atau dijelaskan dengan lugas dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan, namun jika dikaji baik dari sisi kalimat maupun maksud sebenarnya dari aturan ini maka kesimpulan tersebut dapat dikuatkan, dengan pemikiran bahwa orang yang hamil akhir dari kehamilannya ialah pasti melahirkan (kecuali keguguran atau penyebab lain). Karena itu secara analogi sekalipun, tidak mungkin hamil merupakan kejadian tersendiri dan melahirkan juga tersendiri, melainkan satu kesatuan, yakni melahirkan anak merupakan akibat dari kehamilan.

Dengan analisis demikian, maka tidak mungkin untuk memisahkan menjadi dua, yakni (1) izin untuk istirahat sebelum melahirkan; dan (2) izin untuk istirahat sesudah melahirkan. Karena itu, izin yang diberikan hanya satu saja yang kemudian mencakup keduanya.

  1. Lama waktu istirahat sebelum dan sesudah melahirkan ialah 3 bulan, yang dihitung sesuai dengan perhitungan dokter kandungan atau bidan

Peraturan perundang-undangan telah menentukan bahwa, waktu istirahat sebelum dan sesudah melahirkan masing-masing ialah 1,5 bulan, sehingga totalnya ialah 3 bulan. Sebagaimana prinsip dasar hukum ketenagakerjaan, bahwa Perusahaan tidak dapat memberikan hak karyawati lebih rendah dari yang ditentukan dalam Undang-Undang kecuali Undang-Undang menentukan lain untuk hal itu. Maka dengan demikian waktu 3 bulan tersebut merupakan waktu minimal yang menjadi hak karyawati yang menjalankan istirahat sebelum dan sesudah melahirkan. Lalu bagaimana jika lebih, maka ini merupakan kebijakan perusahaan yang menguntungkan bagi karyawati sehingga tidak ada larangan dalam ketentuan Peraturan Perundang-Undangan untuk itu.

Akan tetapi persoalannya ialah, karena ketentuan Peraturan Perundang-Undangan telah menentukan waktunya untuk masing-masing yakni 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 setelah melahirkan, maka apakah jika karyawati melahirkan lebih cepat atau lebih lama dari 1,5 bulan akan dilakukan penyesuaian waktu istirahat atau tidak ? mengingat dasar perhitungan waktu melahirkan yang sebelumnya digunakan menjadi berubah.

Jika terjadi kasus demikian, maka jawabannya ialah perhitungan 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan tidak dilakukan penyesuaian, alasannya ialah Pasal 82 (1) UU Ketenagakerjaan dengan jelas menyatakan bahwa perhitungan 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan dilakukan “menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”. Artinya memang sedari awal, perhitungan tersebut didasarkan bukan atas “kejadian nyata” waktu melahirkannya, namun berdasarkan “perkiraan” atau dalam bahasa UU Ketenagakerjaan “perhitungan”. Sehingga jika fakta tanggal dan hari melahirkan karyawati berbeda dengan tanggal “perhitungan/perkiraan” tersebut maka tidak akan berpengaruh apapun.

Sehingga jika ada karyawati yang menambah dengan sendirinya waktu istirahat sesudah melahirkan melebihi 1,5 bulan tanpa prosedur yang dibenarkan hanya karena beralasan waktu melahirkannya mundur dari jadwal perkiraan, maka hal ini dapat berpotensi dianggap karyawati mangkir, kecuali penambahan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur.

  1. Waktu istirahat 3 bulan tersebut dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan;

Sebagaimana yang telah diuraikan pada point 3 sebelumnya, bahwa waktu istirahat 1,5 bulan untuk karyawati sebelum dan sesudah melahirkan dihitung berdasarkan “perhitungan/perkiraan” dokter kandungan atau bidan. Artinya lamanya waktu istirahat itu diberikan berdasarkan “perkiraan tanggal melahirkannya” (bukan tanggal aktualnya). Jika ada yang mempertanyakan kenapa tidak dihitung berdasarkan tanggal aktual, maka perlu diketahui bahwa istirahat diberikan 1,5 sebelum perhitungan tanggal melahirkan, sehingga tidak ada system yang bisa memastikan 100% keakuratan kapan tanggal orang (karyawati) akan melahirkan.

Lalu bagaimana dengan karyawati yang melahirkan melebihi dari tanggal perkiraan, katakanlah tanggal perkiraan melahirkan 1 Januari, namun aktualnya melahirkan di tanggal 15 Januari, sehingga jika berdasarkan izin istirahat yang pertama diberikan, maka istirahatnya hanya satu bulan setelah melahirkan (bukan 1,5 bulan sebagaimana ketentuan dalam regulasi). Untuk situasi ini, maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yakni (1) karyawati tersebut merasa cukup sehat untuk bekerja setelah satu bulan istirahat sejak melahirkan yang tentunya berdasarkan pertimbangan dari dokter kandungan atau bidan, (2) kemungkinan lain ialah karyawati tersebut belum terlalu sehat karena hanya satu bulan istirahat.

Jika situasi pertama yang terjadi, dan karyawati tidak meminta perpanjangan waktu istirahat, maka berlaku ketentuan sebelumnya yakni 3 bulan istirahat kemudian karyawati masuk bekerja dan tidak akan ada issue, namun jika situasi kedua yang terjadi maka karyawati perlu untuk memperpanjang waktu istirahat sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan, yakni harus ada surat keterangan dokter kandungan atau bidan yang menerangkan perlunya perpanjangan waktu istirahat tersebut.

Bagaimana jika surat keterangan perlunya perpanjangan waktu istirahat dikeluarkan oleh dokter umum atau dokter lain selain dokter kandungan ?, maka untuk meminimalisir potensi konflik, harus dilihat latar belakangnya. Jika hal itu dilakukan karena tidak terdapat dokter kandungan atau bidan, maka dapat dibenarkan, namun jika sebaliknya, maka harus dikatakan bahwa tidak memenuhi ketentuan persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga sepatutnya dianggap sakit biasa bukan perpanjangan istirahat sesudah melahirkan.

Dari pembahasan pada poin 3 dan 4 di atas, maka dapat ditarik kesimpulan ialah: waktu istirahat untuk karyawati sebelum dan sesudah melahirkan total ialah 3 bulan yang dihitung 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 sesudah melahirkan berdasarkan “perhitungan/perkiraan” awal dokter kandungan atau bidan. Jika akan memperpanjang istirahat baik sebelum atau sesudah melahirkan berdasarkan aktual tanggal melahirkan atau situasi tertentu, maka harus diperpanjang dengan berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

 

Regards

By admin

error: Content is protected !!